Monday, April 22, 2013

pengaruhbelanda


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sejarah Islam Indonesia memiliki keunikan sendiri, karena di samping menjadi salah satu faktor pemersatu bangsa juga memberikan nuansa baru dalam keberislaman, yangberbeda dengan karakter dan sifat keislaman negara-negara lain, terutama timur tengah.
Salah satu hal yang mendasar akan keunikan tersebut adalah sejarah Indonesia yang telah mengalami penjajahan, khususnya pada masa penjajahan Belanda. Apa yang dimaksud dengan pembaharuan pendidikan oleh penjajahan belanda justru merupakan pembodohan agar mereka mendapatkan perolehan jajahan yang melimpah.
Perlakuan dan kebijakan Belanda terhadap pendidikan di Indonesia sangatlah tidak manusiawi. Sebab mereka juga melakukan ordonansi khususnya terhadap pendidikan agama Islam. Hal ini dikarenakan selain menjajah negara, mereka memiliki misi untuk melakukan Westernisasi dan Kristenisasi.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Pendidikan zaman kolonialisme Belanda.
2.      Kebijakan Kolonialisme Belanda terhadap Pendidikan di Indonesia.
3.      Ordonansi.







BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pendidikan Zaman Kolonialisme Belanda
Penaklukan Bangsa barat atas Indonesia dimulai dalam bidang perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Kedatangan mereka memang membawa kemajuan teknologi, tetapi tujuan sebenarnya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahan. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan sebenarnya adalah Westernisasi dan Kristenisasi. Motif  inilah yang mewarnai kebijaksanaan pemerintah Belanda di Indonesia.
Terhadap pendidikan Islam, semula Belanda (th.1610 M) bersikap membiarkan saja menurut sistem kerajaan Mataram. Namun, mereka lambat laun mengubah pendidikan Islam secara sedikit demi sedikit. Sejak perjanjian Giyanti (th.1755), belanda mulai berusaha melumpuhkan pengaruh Islam, dimulai di daerah yang sudah dikuasai di Yogya lalu Surakarta.[1]
Ketika Van Den Bosch menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta tahun 1831, ia mengeluarkan kebijaksanaan bahwa sekolah gereja dianggap sebagai sekolah pemerintah Belanda. Departemen yang mengurus pendidikan dan kegamaan dijadikan satu. Di setiap daerah Karisidenan didirikan satu sekolah Agama Kristen.[2]
Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan ke dalam dua periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Ost-indische Compagnie) dan masa pemerintahan Kolonial Belanda (Nederlands Indie).
Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
·         Pendidikan dasar
Berdasarkan peraturan tahun 1778, dibagi ke dalam 3 kelas berdasarkan rankingya. Kelas 1 (tertinggi) diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk berhitung. Kelas 3 (terendah) materi pelajarannya fokus pada alfabet dan megeja kata-kata.
·         Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang—tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran uatamanya adalah Bahasa Latin.
·         Seminarium Theologium (Sekolah Semminari)
Ini merupakan sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca, menulis, Bahasa Belanda, Melayu, dan Portugis serta materi dasar-dassar agama. Kelas 2 pelajarannya ditambah bahasa latin. Kelas 3 ditambah materi Bahasa Yunani dan yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi dan lainnya. Kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya.
·         Academie de marine (akademi pelayaran)
Akademi ini berdiri pada tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun. Materi pelajarannya meliputi matematika, Bahasa Latin, Bahasa Ketimuran (Melayu, Malabar, dan Persia), navigasi, menulis, menggambar, agama, ketrampilan naik kuda, anggar, dan dansa.
·         Sekolah Cina
Sekolah cina didirikan untuk keturunan cina yang miskin, tetapi sempat vacum karena peristiwa De Chinezzenmoord (pembunuhan China) tahun 1740.
·         Pendidikan Islam
Pada masa abad ke 18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, Kekuasaan Kolonial Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh Pemerintah  Belanda  diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain;
a.       Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu,
b.      Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan, sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentinagn kolonial,
c.       Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
d.      Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik, dan ekonomi pemerintah kolonial.[3]

B.     Kebijakan Kolonial Belanda terhadap Pendidikan
Belanda berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama yang mereka sesuaikan, dengan prinsip-prinsip yang mereka pegang sebagai Kaum Imperialis Kolonialisme, yaitu kebarat-baratan (Westernisasi) dan misi Kristenisasi.
Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan tentu saja dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen. Hal ini terlihat jelas, misalnya ketika Van Den Bosch menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta tahun 1831, keluarlah kebijakan batas sekolah-sekolah, gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu, sementara di setiap daerah Karisidenan didirikan satu sekolah Agama Kristen.[4]
Tindakan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut, telah menempuh berbagai usaha lain. Dengan maksud menekan dan mematikan kegiatan-kegiatan keagamaan (Islam). Strategi kebijakan Kolonial Belanda terhadap aktivitas keislaman oleh penduduk pribumi semakin rapi dan terkesan akomodatif setelah ada salah seorang penasehat pemerintah Kolonial Belanda di bidang keagamaan, yaitu Snouck Horgronje.
Snouck Horgrounje setelah mepelajari seluk beluk masyarakat muslim Indonesia dengan segala karakteristiknya, lalu menasehatkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda bahwa:
·         Menyarankan azaz Pemerintah Kolonial Belanda bersifat netral terhadap agama, tidak memihak terhadap salah satu agama yang ada. Menurut Snouck Horgrounje fanatisme Islam itu akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses pendidikan secara evolusi.
·         Pemerintah kolonial belanda diharapkan dapat membendung Pan-Islmaisme yang sedang berkembang di Timur Tengah, dengan jalan menghalangi masuknya buku-buku/  brosur-brosur ke wilayah Indonesia, mengawasi kontak langsung atau tidak dari tokoh-tokoh Islam dengan tokoh luar, serta membatasi dan mengawasi orang-orang yang pergi ke Mekkah, bahkan jika memungkinkan melarangnya.
Melalui pendidikan Barat, pribumi diupayakan dapa menyerap kebudayaan Barat untuk mengganti kebudayaannya sendiri. Dalam abad ke-20, mahasiswa-mahasiswa dan pengikut-pengikut terus menerus memberi nasihat kepada pemerintah. Konsep pendidikan Baratnya telah dilaksanakan oleh pemerintah Belanda dengan mendirikan berbagai sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dan berbagai sekolah teknik serta kejuruan.
Kelompok social-politik mengembangkan system pendidikan tersendiri yang berbeda dengan yang telah dikembangkan Pemerintah Kolonial. Dampak dari berkembangnya dua system pendidikan ini adalah terjadinya dikotomisystem pendidikan di Indonesia, antara yang mempriotaskan pengajaran ilmu pengetahuan umum dengan yang memfokuskan pada pengajaran pengetahuan agama. Kedua system pendidikan ini bersaing dalam memperebutkan simapati masyarakat. Akhirnya persaingan dimenangkan oleh pendidikan Barat karena memiliki system yang lebih baik dan adanya jaminan kerja. Akibat dari kekalahan system pendidikan agama yang banyak dikembangkan pesantren tersebut, maka kalangan pesantren kemudian memodifikasi system pendidikannya dengan penambahan penggunaan organisasi modern dan materi pendidikan umum model pendidikan Barat yang dikenal dengan “madrasah”. Sedangkan kalangan “Islam kota” mengadopsi langsung sistem pendidikan umum dengan penambahan sedikit pendidikan agama.
Pendidikan model Barat yang dikembangkan oleh “muslim kota” tersebut bersama sama dengan pendidikan serupa yang dikembangan kelompok “sekuler” pada akhirnya dapat mengimbangi pengaruh pendidikan yang dikembangkan Pemerintah Kolonial. Pendidikan ini dapat menghasilkan intelegensi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang berbeda dengan keinginan Snouck. Karena dalam pendidikan ini diajarkan juga pendidikan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun pengaruh negative dari pendidikan yang dikembangkan kolonial tidak dapat dibendung seluruhnya. Pendidikan tersebut menghasilkan orang-orang Islam yang tidak paham terhadap agamanya, dangkal aqidahnya, dan hilang ruh Islamnya.
Reaksi terhadap perkembangan sekolah-sekolah Belanda, juga dilakukan oleh kelangan pesantren. Para kyai mengkonsolidasikan pesantrennya dengan memasukkan unsur-unsur baru seperti yang ada pada sekolah Barat. Mereka mulai memasukkan beberapa mata pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Berhitung, Ilmu Bumi dan Sejarah, ke dalam kurikulum pendidikan pesantren. Mereka juga memperbarui system pengelolaan pengajaran dengan memanfaatkan pola organisasi modern seperti penggunaan jam-jam belajar tertentu, ujian, nilai-nilai ijazah serta mempekerjakan guru-guru yang berasal dari orang biasa (non ulama) dan bahkan wanita. Pesantren yang mempelopori pembaharuan ini adalah seperti Pesantren Tebuireng, Pesantren Denanyar di Jombang, dan Pesantren Singosari di Malang. Pesantren Denanyar bahkan telah membuka pondok untuk murid-murid wanita pada tahun 1910-an.[5]
Demikianlah peraturan-peraturan Pemerintah Kolonial Belanda yang kian ketat dan keras yang memiliki dampak besar. Akan tetapi pada kenyataannya yang dialami Pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan saran dan nasehat Snouck Horgronje ternyata jauh meleset. Tokoh-tokoh Islam di Indonesia banyak yang mendapat majalah-majalah/ brosur-brosur dari dunia luar seperti Timur Tengah. Selain itu analisa Snouck tentang potensi pribumi dan teori tentang pemisahan unsur agama dari unsur politik, tidak sejalan dengan perkembangan situasi. Terutama dua puluh tahun terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sedikit banyak mempengaruhi pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren.
Hal ini dapat dilihat dari terpecahnya dunia pendidikan di Indonesia pada abad 20 M menjadi dua golongan, yaitu:
·         Pendidikan yang diberikan oleh sekolah barat yang sekuler, tidak mengenal ajaran agama
·         Pendidikan yang diberikan oleh pesantren hanya mengenal pendidikan agama saja.
Dengan terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat berbeda, tentunya tidak akan mendatangkan keuntungan bagi perkembangan masyarakat Indonesia di amsa yang akan datang, bahkan akan merugikan umat muslim sendiri.[6]
Jika Islam tetap terpelihara dengan baik, maka para ulama dan kyai bersikap Non Cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan berpegang kepada hadis Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut” (Riwayat Abu Dawud dan Imam Hibban). Mereka tetap berpegang kepada ayat Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 51 yan artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani engkau angka sebagai pemimpin”.[7]
C.    Ordonansi
Pengertian ordonansi adalah peraturan pemerintah; surat pemerintah; peraturan kerajaan.[8] Pemerintah Belanda memiliki berbagai upaya untuk menggagalkan penyebaran ajaran Islam melalui pendidikan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, Belanda melakukan kebijakan-kebijakan terghadap pendidikan Islam di Indonesia termasuk melakukan ordonansi.
Kendati gagal menerapkan Ordonansi Guru pada 1928, pemerintah kolonial memperkenalkan Ordonansi Sekolah Liar pada September 1932 untuk mengendalikan sekolah-sekolah swasta. Menurut Shaleh, penolakan ordonansi tersebut lebih luas, tidak terbatas pada kelompok muslim saja, tetapi juga kelompok atau organisasi lain yang menyelenggarakan sekolah swasta.
Penolakan berbagai kalangan, mulai dari organisasi Islam moderat sampai radikal, terhadap sertifikasi ulama, mengulang sejarah: “… kalangan tradisionalis dan modernis, kelompok radikal dan kelompok moderat bekerja sama menentang kebijakan pemerintah tersebut (ordonansi guru),” tulis Kahin.[9]
Politik yang dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam kebenarannya didasarkan oleh rasa ketakutan, rasa penggilan agamanaya yaitu Kristen dan Kolonialismenya sehingga mereka tetapkan ketentuan atau peraturan yang menyangkut pendidikan  Agama Islam yakni sebagai berikut;[10]
1)      Tahun 1882 Pemerintah Kolonial Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari nasehat badan inilah pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan baru yang yang isinya  bahwa orang-orang yang memeberikan pengajaran/ pengajian Agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada Pemerintahan Belanda.
2)      Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih berat terhadap pendidikan Islam yaitu bahwa tidak semua orang (Kyai) boleh memberikan pengajaran mengaji kecuali sudah mendapat semacam rekomendasi/ persetujuan Pemerintah Belanda.
3)      Tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup Madrasah dan Sekolah  yang idak ada izinnya, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh Pemerintah Belanda yang di sebut Ordonansi sekolah liar (Wilde School Ordonantie). Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928 M, berupa Sumpah Pemuda.





















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di ataas dapat disimpulkan bahwa:
1.      Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan ke dalam dua periode besar, yaitu pada masa VOC dan masa (Nederlands Indie).
2.      Pendidikan masa Belanda bermotif westernisasi dan kristenisasi.
3.      Belanda juga memberikan kebijakan-kebijakan yang mana bertujuan untuk menyulitkan berkembangnya Islam di Indonesia.
4.      Belanda melakukan ordonansi terhadap pendidikan Islam di Indonesia.


[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 118.
[2] Ibid, 119.
[3] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2011), hal. 58.
[4] Ibid,62.
[5] Lathiful Khuluq, Strategi Belanda Melumpuhkan Islam,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal 63-73.
[6] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal. 298-299.
[7] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hal 146-150.



10 Wathoni, Indonesia, hal. 63.